Thursday, January 7, 2010

BANGSAT

Mbah Darmo Mbah Darmo

23 jam yang lalu

Saudaraku, teman Perancisku yang sedang belajar Bahasa Indonesia pernah berujar: salah satu kompleksitas dalam mempelajari bahasa Indonesia adalah cara memaknai “intonasi”, di samping juga minimnya kosa kata yang tepat (precise) untuk mengungkapkan satu istilah. Terlebih-lebih istilah-istilah baru yang bermunculan di dunia teknologi informasi.

Jangankan dia yang orang asing, saya sendiri yang lahir dan hidup di negeri ini, kadang-kadang juga merasakan kesulitan yang sama. Terlepas dari keseharian saya yang lebih banyak menggunakan bahasa Jawa – yang ternyata jauh lebih lengkap dan pepak.

Salah satu yang dikeluhkan teman saya itu adalah bagaimana memahami makna yang berbeda akibat perbedaan intonasi pengucapan. Karena dari intonasi itulah seseorang akan menangkap maksud yang tersurat dari suatu kata yang diucapkan seseorang.

Maksud saya begini, satu kata yang diucapkan secara datar-datar (plain) saja, mungkin tidak akan menimbulkan tafsiran yang aneh-aneh, atau bahkan memancing respon yang tidak proporsional. Tetapi, begitu kata yang sama diucapkan dalam intonasi yang berbeda, maka makna yang ditimbulkan pun akan berbeda pula.

Terminologi seperti inilah yang jarang ditemukan dalam kaidah bahasa asing. Inilah uniknya Bahasa Indonesia – terlebih Bahasa Jawa – intonasi pengucapan akan sangat menentukan makna yang diserap lawan bicaranya.

Hari-hari ini, kita dikejutkan oleh merebaknya kata ”bangsat” di banyak tempat. Di status facebook maupun di banyak thread berbagai mailing list. Kata itu akan menimbulkan berbagai dampak jika diucapkan, semua itu tergantung dari intonasi serta bahasa tubuh yang menyertai seseorang ketika mengucapkannya.

Jika kata itu diucapkan dalam forum yang begitu terhormat, di dalam ruangan AC yang sejuk di Senayan sana, apalagi diucapkan dengan intonasi yang keras (!!!) dibarengi dengan bahasa tubuh yang ekspresif sambil menudingkan jari ke wajah seseorang, tentu saja akan menyulut kehebohan publik. Apalagi disiarkan langsung oleh televisi.

Kehebohan yang terjadi bukan hanya karena gabungan dari semua itu menghasilkan sebuah makna “penghinaan”, tetapi juga karena gabungan beberapa variabel yang terjadi secara simultan yang menyertai kata “bangsat” itu menjadikan kata itu serasa begitu “kotor” terdengar di telinga.

Telinga kita tentu akan merespon dengan sensitivitas yang berbeda andaikan saja variabel yang menyertai kata “bangsat” itu berbeda dengan yang terjadi di Senayan. Jika diucapkan dengan datar, maka kata itu bisa berarti “kutu busuk”, sejenis serangga langka yang dulu pernah menjadi lambang supermasi atas kemiskinan yang diderita bangsa ini.

Akan beda halnya jika kata itu diposisikan sebagai tema dan dibiakkan dalam bingkai kesusasteraan. Kita tentu ingat dengan kumpulan puisi Darmanto Jatman yang terkenal itu, yang bertajuk: Bangsat! Siapapun, yang membaca puisi itu pasti tidak akan pernah tersinggung, apalagi berkobar emosinya untuk mengumpat dan menyerang sang pengarang. Yang terjadi justru sebaliknya, pembaca pasti akan menikmatinya sebagai karya sastra yang indah, introspektif, dan meneduhkan.

Keteduhan itu akan bertambah lagi jika kita menyaksikan dan menyimak bagaimana ekspresi sang pengarang ketika membacakan karyanya itu. Di sini, peran intonasi dan ekspresi kembali menentukan. Dan saya yakin, kata “bangsat” yang diteriakkan Darmanto tidak akan membawa keributan, apalagi ledakan emosi. [Semoga sang pengarang itu segera menemukan kembali kekuatannya yang sementara ini sedang dipinjam-Nya.]

Tidak hanya ditinjau dari sisi eksternal publik yang membaca puisi itu, dari sisi internal pengarangnya pun juga demikian halnya. Julukan sebagai “Penyair Bangsat” tidak menyebabkan pamor Darmanto merosot, tetapi justru menjadikan ia tegar dan berkibar. Darmanto memaknai predikat itu sebagai ekspresi kecintaan publik kepadanya.

Pesan yang dapat ditangkap, berhati-hatilah dalam berintonasi. Salah-salah bisa memancing emosi. Di tengah kondisi bangsa yang sedang sangat sensitif seperti ini, sebaiknya Anda berhati-hati. Kalau tidak ingin karenanya, kita bisa masuk bui. ***

Yogyakarta, 7 Januari 2010.

Foto courtesy: rimbobujang.files.wordpress.com